Amerika Serikat di Ambang Resesi?
Jakarta, Dekannews- Pasar keuangan Indonesia membukukan kinerja yang memuaskan pada pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah seluruhnya menguat.
Sepanjang minggu kemarin, IHSG menguat nyaris 1% secara point-to-point tepatnya di angka 0,99%. IHSG kembali berhasil menembus level psikologis 6.500.
Sementara dalam periode yang sama, nilai tukar rupiah menguat 0,67% terhadap dolar Amerika Serikat. Dolar AS berhasil didorong ke bawah Rp 14.200.
Lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun anjlok 20,5 basis poin (bps), pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat investor. Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun menyentuh titik terendah sejak 17 Juli 2018.
Tema besar yang mewarnai pasar pekan lalu adalah The Federal Reserve/The Fed, Bank Sentral Negeri Paman Sam. Pada Kamis dini hari waktu Indonesia pekan lalu, komite pengambil kebijakan The Fed atau Federal Open Market Commitee (FOMC) menggelar rapat bulanan untuk menentukan suku bunga acuan.
Pelaku pasar menduga bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan mempertahankan Federal Funds Rate di kisaran 2,25-2,5% atau median 2,375%. Namun bukan ini yang sebenarnya sangat ditunggu pasar melainkan pengumuman mengenai arah suku bunga ke depan yang dicerminkan dalam dot plot.
Dalam dot plot edisi Desember 2018, The Fed masih memperkirakan suku bunga acuan pada akhir 2018 berada di 2,875%. Dengan posisi saat ini, artinya butuh 2 kali kenaikan masing-masing 25 bps untuk mencapai angka tersebut.
Pasar menantikan dot plot edisi Maret 2019, karena diperkirakan akan terjadi perubahan arah. Sebab, para pejabat teras The Fed berulang kali mengucapkan kata "sabar" soal rencana kenaikan suku bunga acuan, karena melihat gejala perlambatan ekonomi di Negeri Adidaya.
Ekspektasi tersebut membuat dolar AS kehilangan pegangan. Tanpa disokong oleh prospek kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di greenback tidak lagi menarik. Arus modal pun berbondong-bondong meninggalkan dolar AS dan hinggap ke delapan penjuru mata angin, termasuk di Indonesia.
Benar saja, apa yang diperkirakan pelaku pasar menjadi kenyataan. Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed mengumumkan mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5%.
Tidak hanya itu, The Fed juga mengubah dot plot mereka. Pada akhir 2019, median Federal Funds Rate diturunkan menjadi 2,375%. Artinya, kemungkinan amat sangat besar sekali kuadrat tidak ada kenaikan suku bunga sampai akhir tahun ini.
Investor pun semakin bersemangat memburu aset-aset di negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 1,34 triliun sepanjang pekan lalu.
Namun jelang akhir pekan, antusiasme tersebut berbalik karena investor memilih pulang ke pelukan dolar AS. Sebab, dolar AS yang sudah melemah cukup dalam menjadi menarik. Siapa yang tidak tergoda melihat dolar AS yang harganya sudah terdiskon?
Kemudian, investor juga memilih bermain aman setelah mendapatkan perkembangan terbaru seputar Brexit. Uni Eropa mengabulkan permintaan Inggris yaitu memundurkan jadwal pelaksanaan Brexit yang semestinya pada 29 Maret mendatang.
Jika parlemen Inggris meloloskan proposal Brexit pekan ini, maka deadline Brexit diperpanjang menjadi 22 Mei. Namun kalau parlemen masih saja menolak proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May, maka Inggris hanya punya waktu sampai 12 April untuk membereskan perceraian dengan Uni Eropa.
Kemungkinan Inggris berpisah dengan Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa alias No-Deal Brexit masih sangat terbuka. Ini tentu membuat investor memilih bermain aman, enggan masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang. (sumber: cnbc Indonesia)